Melacak Jejak Kebenaran Alkitab

Rabu, 09 September 2009,

Alkitab adalah kebenaran mutlak. Ada yang menerimanya mentah-mentah, ada juga yang bersikukuh mencari hingga “muntah”. Bagaimana seharusnya?

Genap berusia 23 tahun di April lalu, Jonathan Joko Susanto Prihantoro Kaligis, tampil santai dengan kemeja coklat bergaris lurus dipadu jeans. Khas anak muda. Siang itu (21/7), Nathan, panggilan akrabnya, didaulat oleh Bahana untuk bercerita.

Nathan mengaku tidak terbiasa membaca Alkitab setiap hari. Namun di waktu yang sesekali itu, ia cukup merasakan manfaat membaca Firman Tuhan. Terutama ketika sedang down atau sedang dilanda kesepian.

“Ayat-ayat di Alkitab bisa membuatku bersemangat kembali. Rasa kesepian lenyap karena seperti ada yang menemani,” ungkapnya jujur. Ia juga percaya bahwa Alkitab berisi panduan yang benar untuk menjalani kehidupan sementara di dunia ini.

Munculnya Keraguan
Jika dirunut secara logika, beberapa bagian Alkitab memang tidak masuk akal manusia. Misalnya, bagaimana mungkin seorang perawan bisa mengandung dan melahirkan? Atau, bagaimana mungkin orang mati bisa bangkit kembali?

Nathan mengatakan bahwa ia sempat terpengaruh oleh teman-temannya yang meragukan kebenaran Alkitab. Dimulai dari diskusi-diskusi kecil tentang keganjilan-keganjilan dalam Alkitab. Ditambah dengan begitu banyak bukti yang dibeberkan oleh buku-buku dan film. Semua bertujuan menolak keabsahan Alkitab.

Hal serupa tapi tak sama dialami oleh Eko Sujatmiko (32). Ditemui Bahana di sela kesibukannya sebagai Manajer Pengembangan Penerbit ANDI, Eko menjelaskan bahwa ia pun mulai skeptis pada Alkitab setelah mempelajari ilmu fisika sains murni.

“Yang kutanyakan pertama kali adalah : apa benar Tuhan (yang kita sembah, red) itu adalah Tuhan yang menciptakan kita? Kalau Dia Mahakuasa, mengapa banyak hal-hal buruk terjadi di dunia? Bukankah Dia membuat segala sesuatunya itu baik? Dan sebagainya, dan sebagainya,..”

Bisa Melanda Setiap Orang
Eko telah mendapat warisan iman dan keselamatan sejak kecil dari orangtuanya. Sejak kelas 2 SMP sampai kelas 2 SMA, ia sangat dekat dengan Tuhan, sering berdoa, baca Firman Tuhan, dan mempergumulkan ini dan itu. Ia mencatat, ada banyak doa yang dijawab oleh Tuhan. “Aku dulu termasuk anak alim,” ucapnya sembari tertawa.

Namun jelas itu bukan jaminan. Masa kedekatan tersebut pun lewat perlahan. Pelajaran di bangku kuliah perihal penciptaan alam semesta mulai menarik minatnya. Diskusi-diskusi menarik mulai gencar dilakukan. Ia mengetahui teori paling mutakhir yang mengatakan bahwa alam semesta bisa tercipta dengan sendirinya, lalu berevolusi menurut waktu hingga seperti sekarang. “Dalam teori tersebut, Tuhan tidak diperlukan. Hal-hal seperti ini yang kemudian sempat menggerogoti imanku,” ujarnya.

Temukan Titik Balik
Jika membaca Alkitab saja sudah cukup bagi Nathan, Eko justru tidak puas. Karena hobi membaca, ia melahap banyak buku-buku yang sekiranya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya tersebut. Ia juga berdiskusi lebih banyak dengan teman-teman kuliah, dan bahkan mempelajari berbagai kepercayaan yang berbeda. Hasilnya? Nihil. Ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Lalu suatu ketika di hari Natal, sebaris ayat dari Alkitab menyentaknya. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh.3:16)

“Ini ayat yang sering kita dengar. Tapi waktu itu berbicara padaku secara berbeda. Yaitu bahwa tidak mungkin manusia mencari Tuhan. Yang mungkin adalah Tuhan mencari manusia. Dan satu-satunya yang mengajarkan itu adalah kekristenan. Kekristenanlah yang mengajarkan bahwa Kristus turun ke dunia untuk menjumpai manusia,” ucap Eko dengan nada tegas.

Inilah masa yang disebutnya sebagai titik balik; yaitu ketika cara pandang terhadap Alkitab berubah sama sekali.

Mempertahankan Pokok Iman
Apakah penting untuk mengetahui bahwa Alkitab itu masuk akal atau tidak? “Penting. Tapi tidak semuanya. Iman jangan dibangun dengan logika, meskipun untuk beberapa bagian logika akan menguatkan iman,” jelas Eko.

Bagaimana jika ada yang menyodorkan bukti-bukti valid mengenai ketidakabsahan data di Alkitab? Eko menjawab pertanyaan ini dengan sangat lugas, “Alkitab bukan buku ilmu pengetahuan. Alkitab adalah surat cinta Tuhan kepada manusia.”

Bagaimana dengan bagian Alkitab yang tampak ganjil? Eko memberikan sebuah contoh. Apakah Yesus pernah merasa takut? Ternyata, Markus mencatat bahwa Yesus pernah merasa takut.

“Tapi hal-hal seperti itu tidak mengubah pokok iman kita, yaitu Yesus Kristus itu sendiri.”

Mengubah Cara Pandang
Eko mengatakan bahwa proses pencarian Tuhan dan kebenaran itu kemudian menjadi tampak paradoks. Ketika manusia mencari, jika Allah tidak berkenan ditemui, mereka tidak akan menemukan. Tapi, itu tidak berarti manusia kemudian diam saja. Manusia harus mencari tahu agar mengerti.

Masalahnya, dalam proses pencarian tersebut, beberapa orang kemudian menyerah, lalu berhenti mencari dengan sungguh-sungguh. “Karena keputusan untuk menemui kita adalah mutlak di tangan Dia. Jadi, berbahagialah orang-orang yang telah dipilih Allah untuk itu,” tandasnya.

Yang paling penting adalah manusia harus bertumpu pada satu pernyataan yang memandang Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran yang tak terbantahkan. Jika ada yang tidak benar, maka manusia yang harus berubah untuk menyesuaikan diri dengan kebenaran Alkitab tersebut.

Relevansi
Keraguan juga sering melanda orang percaya (maupun mereka yang tidak percaya) karena konteks penulisan Alkitab jauh berbeda dengan kondisi kita saat ini. Menyelaraskan konsep Alkitab dengan zaman sekarang menjadi kontroversi tersendiri.

Bagi Eko, itulah tantangan sebenarnya. Dengan kata lain, bagaimana agar orang percaya mampu melihat keterkaitan Alkitab dalam kehidupan sehari-hari.

Mencari tahu dengan cara membaca buku hanyalah salah satu gaya belajar. Setiap orang, menurut Eko, berhak dibebaskan untuk mencari dengan gayanya masing-masing.

“Bentuklah kelompok-kelompok diskusi dengan pendamping yang berpengalaman. Jangan mencari seorang diri karena kemungkinan akan tersesat. Saya bersyukur karena masa dua tahun pencarian terhadap kebenaran Alkitab tersebut didampingi oleh seorang sahabat yang memberi banyak masukan berharga.”

Namun di atas semuanya itu, Eko menutupnya dengan mantap, “Yang lebih penting, renungkanlah Firman Tuhan tersebut siang dan malam. Karena pencerahan yang sebenarnya berasal dari situ.”

Kiranya tak berlebihan jika kita mengutip perkataan Nathan, sang generasi muda, bahwa Alkitab akan selalu memberikan jawaban yang pasti. Jadi, apakah Anda sudah mutlak mendapatkannya?

Sumber: Majalah Bahana, September 2009

0 komentar:

Posting Komentar